top of page
  • Gambar penulisofficialukmlp2kifh

Putusan Kasasi Peringanan Pidana terhadap Edhy Prabowo

Diperbarui: 28 Mar 2023


Sumber gambar: SINDOnews.com

Berbagai upaya telah dilakukan demi memberantas kasus korupsi yang ada di Indonesia. Tetapi ada-ada saja cara bagi para tikus berdasi untuk merampas hak yang bukan milik mereka. Tindakan yang sangat merugikan keuangan negara yang diperuntukkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak, tetapi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Edhy Prabowo merupakan salah satu di antara ratusan tikus berdasi yang ada di Indonesia. Ia dinyatakan terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1, Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Edhy Prabowo dalam hal ini sebagai Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif memiliki tugas pokok dan berkaitan dengan penyelenggaraan negara yakni sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi jilid kedua. Dalam kasus tersebut, ia menerima hadiah terkait pengurusan izin budidaya lobster dan ekspor benih bening lobster sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih bening lobster.

Atas perbuatannya tersebut, berdasarkan Putusan Nomor 26/Pid.SusTPK/2021/PN Jkt Pst, ia dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dijatuhkan pidana penjara selama lima tahun, dengan denda sebesar Rp.400.000.000 (empat ratus juta rupiah), membayar uang pengganti sejumlah Rp.9.687.447.219 (sembilan milyar enam ratus delapan puluh tujuh ribu juta empat ratus empat puluh tujuh ribu dua ratus sembilan belas rupiah), serta pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.

Namun, Edhy Prabowo mencoba untuk melakukan banding dengan harapan agar hukumannya akan dibatalkan atau diringankan. Tetapi justru Majelis Pengadilan Tinggi memberatkan pidananya menjadi pidana penjara selama 9 tahun dengan pertimbangan bahwa pidana pokok Edhy Prabowo tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Terlebih lagi Edhy Prabowo merupakan seorang Menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik. Hakim juga menilai bahwa Edhy Prabowo telah merusak tatanan kerja yang selama ini berlaku dan terpelihara dengan baik. Edhy Prabowo justru menabrak tatanan prosedur yang ada di Kementeriannya sendiri.

Lagi-lagi tidak puas terhadap Putusan Nomor 30/Pid.Sus-TPK/2021/PT. DKI yang diputuskan oleh Majelis Pengadilan Tinggi terkait putusan dari proses banding yang ia jalani, proses hukum ini pun akhirnya dilanjutkan lagi ke tingkat kasasi. Tepat 7 Maret 2022, Majelis Hakim MA memutuskan untuk memangkas hukuman Edhy dari 9 tahun menjadi 5 tahun penjara. MA menilai Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo yang menurut Majelis Hakim MA Edhy Prabowo selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan telah bekerja dengan baik. Selain memangkas vonis hukuman pokok, Majelis Hakim MA juga melakukan pemangkasan terhadap pencabutan hak politik Edhy Prabowo setelah selesai menjalani masa pidana pokok yang awal 3 tahun menjadi 2 tahun.

Jika ditinjau lebih jauh, alasan yang digunakan hakim ini terkesan tidak masuk akal. Bagaimana seseorang dianggap telah bekerja dengan baik apabila dalam kenyataannya ia memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk menguntungkan golongan tertentu dan mengkhianati sumpah jabatannya sendiri. Justru jika ditinjau dari sisi jabatannya sebagai seorang menteri, seharusnya hal ini menjadi alasan pemberat karena ia menduduki jabatan yang sangat krusial, ia diangkat oleh presiden, seharusnya ia mengabdikan dirinya dengan baik kepada kepentingan masyarakat banyak, bukan malah sebaliknya.

Selain itu, menjadi suatu pertanyaan apakah pantas bila Majelis Hakim MA menilai secara judex facto? Tentu saja tidak! Seyogyanya sekelas Hakim MA harus menilai secara judex juris. Pertimbangan yang digunakan dalam memangkas vonis hukuman pokok Edhy Prabowo pada tingkat kasasi ini tidak berlandaskan hukum sama sekali. Jadi, sangat tidak berwibawa apabila atas alasan “telah bekerja dengan baik” bisa menjadi alasan “penyunatan” putusan pidana pokok Edhy Prabowo dari 9 tahun menjadi 5 tahun.

Kita tahu bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, karena efek yang ditimbulkan bersifat masif yakni aset keuangan negara sehingga tindakan ini digolongkan sebagai extraordinary crime. Sehingga perlu adanya tindakan yang sinergis antar elemen bangsa yaitu masyarakat, aparatur penegak hukum, dan ketegasan dari pemerintah sendiri. Namun, yang terjadi di lapangan kerap kali tidak sesuai yang diharapkan.

Seperti yang dituliskan sebelumnya bahwa korupsi merupakan extraordinary crime maka pemberantasannya pun harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dan juga maksimal. Majelis Hakim seyogyanya pula mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime sehingga mampu menumbuhkan rasa keadilan dalam masyarakat dan juga memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang.

Namun, Majelis Hakim MA justru tidak memperlihatkan sikap tegas terhadap pemberantasan kasus korupsi. Hal ini dilihat dari putusannya yang malah menskorsing hukuman pokok Edhy Prabowo dengan alasan yang tidak berlandaskan hukum seperti yang telah dibahas sebelumnya. Bahkan dengan tindakan ini, bisa jadi berpeluang tidak menimbulkan efek jera apalagi dengan dengan adanya penyunatan hukuman pokok yang semakin mempersempit jalan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Jika menilik beberapa kasus korupsi yang telah dilakukan oleh beberapa menteri sebelumnya, seperti Andi Mallarangeng dan Imam Nahrawi selaku mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang juga terjerat kasus korupsi. Kedua pihak ini sama-sama mengajukan kasasi, tetapi Majelis Hakim MA menolak permohonan kedua pihak ini. Putusan Majelis Hakim MA ini harusnya menjadi landasan (yurisprudensi) bagi Majelis Hakim MA dalam memutuskan kasus korupsi yang menjerat Edhy Prabowo.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim MA adalah tindakan yang mencederai hukum di Indonesia karena tidak berlandaskan hukum dan menimbulkan efek yang tidak memberi keadilan, serta tidak melahirkan efek jera.

Oleh karenanya, upaya penegakan peraturan perundang-undangan untuk menjerat pelaku koruptor dan unsur-unsurnya kedalam penjara perlu dipertegas. Upaya pemberantasan korupsi harus terus-menerus dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan dan perbaikan. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan diterbitkannya berbagai produk hukum yang bertujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Walaupun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dipikirkan untuk melakukan revisi secara komprehensif terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi. Perbaikan dan perubahan tersebut antara lain terkait dengan lembaga yang menangani korupsi agar selalu kompak dan tidak sektoral, upaya-upaya pencegahan juga terus dilakukan, kualitas SDM perlu ditingkatkan agar mampu menangani kasus korupsi dengan lebih bijaksana.


Penulis:




Kezia Dechantika Patasik

Divisi Kesekretariatan UKM LP2KI FH-UH 2022





Rujukan penulis:


Aji, F. K. (2020). Alasan Kasasi Penuntut Umum terhadap Putusan Judex Facti terhadap Kesalahan Menerapkan Hukum dalam Perkara Korupsi. Jurnal Verstek, 8(3), 362-369.

Arista, Muhammad Okky & Dewanto, Putra Bagus Setya . (2015). Argumentasi Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Kasasi Atas Dasar Judex Factie Keliru Menafsirkan Sebutan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sesuai Ketentuan Pasal 253 KUHAP (Studi Putusan Mahkamah. Jurnal Verstek, 3(2), 109-118.

Binaji , Sigit Herman & Hartanti. (2019). Korupsi sebagai Extraordinary Crimes. Jurnal Kajian Hukum, 4 (1), 157-174.

Danil, E. (2016). Korupsi: Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya. Jakarta: Rajawali Pers.

Prahassacitta, V. (2016). The Concept of Extraordinary Crime in Indonesia Legal System: Is The Concept An Effective Criminal Policy? Humaniora, 7(4), 513. https://doi.org/10.21512/humaniora.v7i4.3604

Sakti, Sindu & Herdyanto, Edy . (2021). Argumentasi Kasasi Penuntut Umum terhadap Judex Facti yang Salah Menerapkan Hukum dan Pertimbangan Mahkamah Agung Mengabulkan Kasasi. Jurnal Verstek, 9(2), 253-256.

Tafrichan, M. Z. (n.d.). Argumentasi Pengajuan Kasasi Oleh Penuntut Umum Terhadap Putusan Judex Facti Dalam. Jurnal Verstek, 5(3), 267-277.

Wirawan, M. S. (2015). Penerapan Peran Hakim Agung sebagai Judex Juridis dalam Perkara Pidana studi Putusan MA No. 2239 K/Pid.Sus/2012. Jurnal Penelitian Hukum, 2(2), 90-104.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 26/Pid. Sus-TPK/2021/PN.Jkt.Pst

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 30/Pid.TPK/2021/PT DKI

232 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page