top of page
  • Gambar penulisofficialukmlp2kifh

TIPIKOR BERTINDAK : UJUNG TONGGAK KASUS SUAP KABASARNAS HENRI ALFIANDI 2021-2023

Sumber : Radar Jabar

Dewasa ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang melaksanakan tindakan Operasi TangkapTangan (OTT) dan berhasil mengarahkan perhatiannya kepada Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas), Marsekal Madya (Marsdya), Tentara Nasional Indonesia (TNI) Henri Alfiandi (HA) serta Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Afri Budi Cahyanto (ABC) selaku kedua individu yang diduga terlibat dalam skandal suap terkait beberapa proyek di Basarnas. Proses penyidikan masih berlangsung dan belum mencapai titik putusan dalam ranah pengadilan. Ironisnya, lembaga yang dikenal sebagai institusi yang terampil dan memiliki kredibilitas dalam penegakan hukum yang telah berdiri sejak lama, sekarang dihadapkan pada fakta bahwa pemimpinnya terlibat dalam tindakan korupsi.


Tentara sebagai elemen penting dalam struktur negara, memiliki tanggung jawab utama untuk menjaga keamanan dan pertahanan nasional, sesuai dengan ketentuan yang diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 5 dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa peran TNI adalah sebagai alat negara dalam bidang pertahanan, yang menjalankan tugasnya dengan berlandaskan pada kebijakan dan keputusan politik negara.[i] Dengan demikian, TNI memiliki status khusus dalam struktur negara. Konsekuensinya, TNI juga diberikan dasar hukum khusus melalui KUHP Militer sebagai dasar menegakkan hukum terhadap oknum militer yang melakukan tindak pidana.

Namun, kasus yang melibatkan Kabasarnas Marsdya TNI HA ini menggambarkan situasi yang memprihatinkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa tidak ada institusi yang sepenuhnya terbebas dari risiko tindak pidana, bahkan lembaga yang memiliki kedudukan istimewa sekalipun. Keberadaan KPK sebagai lembaga independen dalam memberantas korupsi di Indonesia seharusnya menjadi pengingat bahwa penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu demi menjaga integritas dan keadilan di semua lapisan masyarakat, termasuk di dalam institusi yang memiliki tugas vital seperti TNI.

Hal ini bermula ketika KPK telah mengumumkan bahwa Kepala Kabasarnas yang menjabat sebagai Marsdya TNI telah dijadikan tersangka dalam kasus suap terkait perolehan proyek untuk alat deteksi korban reruntuhan. Proses penetapan status tersangka terhadap HA dimulai ketika tim penyidik KPK melaksanakan tindakan diam-diam dalam bentuk OTT pada hari Selasa, tanggal 25 Juli 2023, sekitar pukul 14.00 WIB, di lokasi Cilangkap dan Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat. Selama operasi tersebut, KPK berhasil mengamankan ABC. Dalam penangkapannya, sejumlah uang senilai Rp 999,7 juta yang diduga berasal dari pihak dengan inisial MR, ER, dan HW berhasil disita.

Lebih lanjut, KPK mengindikasikan bahwa HA dan ABC diduga kuat menerima suap dalam jumlah yang signifikan, yaitu sebesar Rp 88,3 Miliar terkait pengadaan barang melalui proses tender. Kedua individu ini diduga menerima dana tersebut dalam rentang waktu dari tahun 2021 hingga 2023. Angka yang dikorupsi tersebut adalah angka yang sangat besar dan tentunya memberikan pengaruh besar kepada negara.


Mengenai wewenang kepada siapa yang berhak untuk menangani kasus ini, jika dilihat pada UU TNI pada Pasal 65 Ayat (1) menyatakan bahwa prajurit siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit.[ii] Ayat (2) berbunyi”Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”[iii] Serta pada pasal 3 yang menyatakan bahwa apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.[iv]

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka HA dan ABC sebagai prajurit TNI dapat pula diadili pada peradilan umum. Hal ini dapat dilakukan dengan mekanisme digabung atau pengadilan tersebut diadili satu lingkup pengadilan saja. Mekanisme gabung yaitu apabila peradilan dilakukan di Pengadilan Militer maka hakim ketua yaitu dari pihak militer dan dua anggotanya dari militer dengan pengadilan umum. Begitupun jika dilakukan di pengadilan umum.


Metode lain diatur dalam 142 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jika dalam lingkup pengadilan umum yang menyatakan bahwa dalam hal penuntut umum menerima suatu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa tersangka, maka penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan meminta agar segera mengadili perkara tersebut.[v] Lebih lanjut, dalam KUHAP mengatur bahwa penuntut umum dapat dilakukan penuntutan terhadap terdakwa secara terpisah. Selain itu, pada pasal 94 ayat (1) menyatakan bahwa dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang.[vi] Hakim tersebut kemudian harus disetujui oleh kementerian pertahanan.


Pasal 89 KUHAP kemudian menyatakan bahwa apabila suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.[vii] Maka hal ini memberikan pendahuluan kepada pengadilan umum untuk menangani kasus serupa. Namun, apabila menurut putusan kementerian pertahanan dan keamanan dengan persetujuan menteri kehakiman, perkara tersebut harus diselesaikan dalam lingkungan pengadilan militer maka yang digunakan adalah peradilan militer.

Oleh karena itu, peranan KPK dalam hal ini sangat penting. KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.[viii] KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Hal ini dikarenakan UU TIPIKOR diatur dalam UU khusus yang memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi.


Referensi Penulis [i] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. [ii] Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. [iii] Pasal 65 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. [iv] Pasal 65 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. [v] Pasal 142Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [vi] Pasal 94 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. [vii] Pasal 89 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Aacara Pidana. [viii] YLBHI. (2023). “KPK Harus Tuntaskan Kasus Korupsi di Basarnas Melalui Peradilan Umum (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).” Diakses 29 Agustus 2023. https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/kpk-harus-tuntaskan-kasus-korupsi-di-basarnas-melalui-peradilan-umum-pengadilan-tindak-pidana-korupsi/.


Penulis:



Andi Besse Alfiyah

Anggota Divisi Penelitian dan Penalaran LP2KI

LP2KI XVI


50 tampilan0 komentar
bottom of page