top of page
  • Gambar penulisofficialukmlp2kifh

PROBLEMATIKA PLTN FUKUSHIMA: PEMBUANGAN LIMBAH NUKLIR DI PASIFIK DAN ANCAMAN BAGI LAUT INTERNASIONAL

Diperbarui: 27 Sep 2023


Sumber: Detik.com

Dalam perkembangan zaman, teknologi selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu dan tentunya hal ini menghasilkan berbagai respons atau konsekuensi bagi manusia. Hal ini menimbulkan inovasi baru yang dapat meningkatkan kemudahan kehidupan manusia di masa sekarang dan di masa depan. Disisi lain, kemajuan teknologi juga memberikan dampak negatif dari terjadinya perkembangan tersebut, misalnya muncul permasalahan-permasalahan yang belum diatur oleh undang-undang sama sekali.


Contoh kasus, yaitu Jepang (Prefektur Fukushima) membuang limbah nuklir ke Samudra Pasifik. Akibat dari pembuangan limbah nuklir yang merupakan dampak dari gempa di Fukushima ini menimbulkan kekhawatiran terkait dengan pembuangan limbah di lautan tersebut.


Jika berkaca di masa lalu, peristiwa kecelakaan nuklir juga telah terjadi sebelumnya di chernobyle, dimana peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa nuklir yang paling mematikan di dunia. Oleh sebab itu, dibentuklah organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) yang kemudian membentuk beberapa takaran penentuan efek nuklir/International Nuclear Event Scale (INES) dengan 7 kategori, dimana Chernobyle dan Fukushima berada pada level tertinggi yaitu Level 7. Karena dampak dari kecelakaan nuklir tersebut, pemerintah Jepang melakukan pengajuan terhadap pembuangan limbah hasil nuklir ke Samudra Pasifik.


Awal mula rencana pembuangan limbah nuklir ini berasal dari ledakan reaktor nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima pada tahun 2011 yang menghasilkan tingkat kontaminasi nuklir sebesar 42 persen. Sebagai respons terhadap insiden tersebut, pihak berwenang membangun tangki penyimpanan air radioaktif yang sangat besar. Saat ini, tangki tersebut hampir mencapai kapasitas maksimalnya, sehingga pemerintah Jepang mempertimbangkan opsi untuk membuang air radioaktif ke laut.


Secara alamiah, laut memiliki kemampuan untuk mengatasi zat-zat pencemar yang masuk ke dalamnya. Namun, jika jumlah zat pencemar tersebut berlebihan atau melebihi kapasitas alamiah laut, maka hal ini dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan laut.[i]


Oleh sebab itu, Jepang mengajukan usulan pembuangan limbah nuklir ke Samudra Pasifik melalui IAEA. Sebuah tinjauan keamanan oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) telah menyimpulkan bahwa rencana Jepang untuk melepaskan air yang telah diolah dan disimpan di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi ke laut konsisten dengan Standar Keamanan IAEA.[ii] Sehingga Jepang mendapatkan izin untuk membuang limbah ke laut, namun tetap memberikan laporan terkait dengan pengelolahan serta pembuangan limbah nuklir tersebut.


Terkait dengan pembuangan limbah ke lautan, untuk nuklir belum diatur dalam peraturan internasional apapun, namun ada beberapa peraturan yang dapat dikaitkan terkait dengan permasalahan pembuangan limbah internasional, seperti:[iii]


1. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS).

Konvensi Hukum Laut 1982, yang dikenal sebagai UNCLOS, adalah sebuah perjanjian PBB yang mencakup regulasi yang komprehensif terkait dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ini mencakup upaya untuk mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari berbagai sumber seperti limbah berbahaya, dumping dan instalasi eksplorasi. Seluruh negara diharuskan untuk bekerja sama baik secara regional maupun global untuk mengatasi masalah ini. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap negara harus melakukan kerja sama regional maupun global.


2. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability Convention)

Konvensi Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut tahun 1969 mengatur ganti rugi terkait pencemaran laut yang disebabkan oleh tumpahan minyak dari kapal tanker. Konvensi ini berlaku diperairan teritorial negara-negara peserta dan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak. Namun, konvensi ini terbatas hanya pada pencemaran minyak di laut.


3. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention).

Konvensi London Dumping tahun 1972 bertujuan untuk mencegah pembuangan limbah berbahaya, baik itu berasal dari kapal laut, pesawat udara, atau pabrik industri. Hal ini dilakukan untuk melindungi lingkungan laut dan kesehatan manusia dari dampak buruk dumping. Namun, konvensi ini terbatas hanya pada pembuangan limbah yang berbahaya baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik industri.


4. The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response and Cooperation 1990 (OPRC).

OPRC tahun 1990 adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan memberikan bantuan segera bagi korban pencemaran laut akibat tumpahan minyak dan bahan berbahaya. Konvensi ini melibatkan penyediaan peralatan bantuan untuk memfasilitasi pemulihan dan evakuasi korban. Namun, konvensi ini terbatas hanya pada pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya.


5. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).

Marpol 73/78 adalah konvensi internasional yang dibuat dengan tujuan mengurangi pencemaran laut dari kapal, terutama oleh minyak dan zat berbahaya lainnya, serta untuk menghindari pembuangan tidak disengaja. Namun, konvensi ini terbatas hanya pada pencemaran minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.


Dalam beberapa peraturan di atas, pembuangan limbah nuklir dapat dikategorikan dengan pembuangan limbah lainnya ke laut. Oleh sebab itu, pasal di atas dapat dikaitkan dengan permasalahan pada kasus Jepang sendiri. Namun, karena Jepang telah meminta perizinan pembuangan limbah nuklir ke laut melalui IAEA.


IAEA memberikan izin terkait sebab pengelolahan limbah tersebut dapat dikatakan sangat melebihi standar internasional terkait kadar limbah berbahaya didalamnya. Sehingga, Jepang secara sah tidak dapat dikaitkan atas pasal manapun terkait dengan pembuangan limbah ke laut. Akibatnya, Jepang memiliki hak untuk melakukan pembuangan limbah ke laut dan harus terus memberikan data terkait perkembangan pembuangan limbah nuklir serta harus bertanggungjawab terkait adanya dampak yang akan ditimbulkan.


Berdasarkan Pasal 2 dari Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, suatu tindakan yang salah secara internasional menimbulkan tanggung jawab negara tersebut. Pemerintah Jepang dapat dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan pelanggaran terhadap kewajiban internasionalnya dan tindakan atau kelalaian tersebut dapat diatribusikan kepada negara tersebut. Karena tindakan pembuangan air limbah merupakan tindakan pemerintah Jepang yang sudah diumumkan oleh Perdana Menteri Pemerintah Jepang maka pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telah dijelaskan di atas dapat diatribusikan kepada Jepang.


Oleh karena itu, apabila terdapat negara yang menyatakan bahwa Jepang telah melanggar kewajiban internasionalnya dan memberikan kerugian, Pemerintah Jepang dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang telah dilakukannya.[iv] Dengan demikian, jika kedepannya ada dampak yang ditimbulkan seperti menyebabkan kerusakan lingkungan dari pembuangan limbah nuklir tersebut, maka negara yang merasa dirugikan atau merasa Jepang melanggar dapat menuntut dibeberapa lembaga maupun tindakan internasional seperti International Tribunal for the Law of the Sea, International Court of Justice, Permanent Court of Arbitration, dan Diplomacy. Namun, tuntutan tersebut harus dibarengi dengan data rill yang memperkuat gugatan.


Dengan adanya perizinan dari IAEA serta data yang menyimpulkan bahwa limbah nuklir yang akan dibuang ke laut masuk dalam kategori aman, Jepang dapat melakukan proses tersebut karena sudah memenuhi syarat dan tidak melanggar konvensi internasional apapun terkait dengan pembuangan limbah ke laut. Tetapi tidak melepas tanggungjawab untuk menanggung resiko yang akan terjadi apabila terdapat dampak membahayakan akibat pembuangan limbah nuklir di Samudra Pasifik. Dampak yang terjadi saat ini ialah culture shock akibat tindakan baru yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Jepang, sehingga membuat banyak masyarakat merasa takut dan khawatir.


Sumber Rujukan: [i] Aprilia Mawaddah, Maria Maya Lestari, dan Ledy Diana. “Analisis Hukum Terhadap Rencana Pembuangan Limbah Nuklir ke Laut Pasca Terjadinya Gempa Bumi dan Tsunami di Jepang.” Birokrasi: JURNAL ILMU HUKUM DAN TATA NEGARA 1 no. 2. (2023): 92–103. https://doi.org/10.55606/birokrasi.v1i2.491. [ii] IAEA. “IAEA Finds Japan’s Plans to Release Treated Water Into the Sea at Fukushima Consistent with International Safety Standards.” (2023). https://www.iaea.org/newscenter/pressreleases/iaea-finds-japans-plans-to-release-treated-water-into-the-sea-at-fukushima-consistent-with-international-safety-standards. [iii] Stevanni Thalia Pandi. (2023). “Kajian Hukum Pembuangan Limbah Nuklir di Laut Menurut Hukum Lingkungan Internasional.” Lex Administratum 11 no. 1. (2023): https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/45357. [iv] Nuraini, H. (2022). “Analisis Mengenai Keputusan pemerintah Jepang Dalam pembuangan air radioaktif fukushima terhadap hukum lingkungan internasional.”LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, Dan Agraria 1 no. 2. (2022): 265–276. https://doi.org/10.23920/litra.v1i2.775.



Penulis:





Muh Nur Mazrur Mazhar T.

Anggota Divisi Prestasi dan Lomba LP2KI

LP2KI XVI

53 tampilan0 komentar
bottom of page