top of page
  • Gambar penulisofficialukmlp2kifh

Menilik Vonis Eliezer: Justice Collaborator sebagai Alasan Peringanan Pidana bagi Pelaku Pembunuhan


Sumber gambar: liputan6.com


Februari 2023 lalu masyarakat digegerkan dengan hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bagi Richard Eliezer, terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Joshua. Richard Eliezer yang notabenenya sebagai justice collaborator. Justice collaborator sendiri pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Dimasukkanya doktrin tersebut di Amerika Serikat sebagai salah satu norma hukum dilandasi karena perilaku mafia yang selalu tutup mulut atau dikenal dengan istilah omerta sumpah tutup mulut akan menghambat jalannya proses pemeriksaan tindak pidana (Muhammad Khadafi, dkk 2023:22-23). Maka dari itu, bagi mafia yang ingin memberikan informasi, diberikanlah fasilitas justice collaborator berupa perlindungan hukum.

Hukum Positif di Indonesia hingga saat ini, tidak mengatur adanya nomenklatur Justice collaborator dalam peraturan perundang-undangan. Justice collaborator atau saksi pelaku yang dikenal di Indonesia berangkat dari sebuah peraturan yang telah disetujui oleh beberapa lembaga penegak hukum, yaitu Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, KPK, LPSK dan Mahkamah Agung. Tepatnya diatur dalam Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menggunakan nomenklatur “Seorang saksi yang juga tersangka”. Beberapa aturan lain yang mengaturnya seperti Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 (perubahan atas UU Nomor 13 tahun 2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Poin (9) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 tahun 2011, serta Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Sederhananya Justice collaborator merupakan sebuah doktrin dalam proses pemeriksaan tindak pidana yang memberikan kesempatan bagi tersangka ataupun saksi pelaku agar bisa bekerja sama dengan penegak hukum dalam rangka membuka tindak pidana seterang-terangnya.

Fungsi dari seorang justice collaborator adalah untuk membongkar dan menghancurkan kelompok-kelompok kejahatan terorganisasi tersebut, yaitu untuk menggali informasi tentang siapa pelaku utama dalam kejahatan yang sifatnya terorganisir, untuk mengetahui struktur organisasi kejahatan terorganisir, dan untuk mengetahui aktivitas dan aliran serta catatan dana dalam kejahatan terorganisir. (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban & Semendawai, 2017). Maka dari itu, justice collaborator diharapkan perannya dapat membantu negara dalam upaya membongkar tindak pidana yang sifatnya terorganisir. (Amalia & Abdul Wahid, 2023).

Salah satu poin dalam amar putusan terdakwa Eliezer, Majelis memutuskan bahwa terdakwa di vonis penjara selama 1 tahun 6 bulan, yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum selama 12 tahun penjara. Di sisi lain, banyak yang menganggap bahwa pembunuhan tersebut tidak akan terjadi ketika Terdakwa tidak melakukan penembakan, mengingat tindak pidana pembunuhan berencana merupakan delik materil yang terlebih dahulu harus ada akibatnya, dalam hal ini ada yang meninggal dunia baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana. Lantas, apa yang membuat Majelis Hakim menjatuhkan vonis yang jauh dari tuntutan Jaksa?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya kita merujuk terlebih dahulu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Seorang tersangka atau saksi pelaku dapat ditetapkan sebagai justice collaborator, jika yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui kejahatan yang dilakukan, dan bukan pelaku utama telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif.

Sedangkan dalam Pasal 4 Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama. Menegaskan bahwa harus ada ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan adanya ancaman, tekanan, baik secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerjasama atau keluarganya apabila tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Melihat kenyataan bahwa hanya terdakwa Richard Eliezer dengan kejujurannya berani mengakui kejahatan yang dilakukan dengan berbagai resiko, sehingga skenario yang disusun rapat-rapat oleh terdakwa lainnya pun berhasil terbongkar, hal inilah menjadi landasan bagi Majelis Hakim menetapkannya sebagai justice collaborator.

Selain alasan dirinya memperoleh vonis yang ringan karena statusnya sebagai justice collaborator, masih banyak hal-hal yang meringankan terdakwa sesuai dengan isi putusan Nomor 798/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel, diantaranya Terdakwa dianggap sopan saat dilakukan pemeriksaan, terdakwa masih muda diharapkan mampu memperbaiki perbuatannya dikemudian hari, menyesali perbuatannya, belum pernah dijatuhi hukuman pidana, dan telah diberi maaf oleh keluarga korban. Hal-hal tersebutlah merupakan pertimbangan Majelis Hakim sehingga terdakwa memperoleh vonis yang sangat jauh bedanya dengan terdakwa lainnya.

Di sisi lain, terdakwa dengan status justice collaborator sebagaimana dalam Pasal 10A, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, memperoleh penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan, berupa pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya, pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya

Selanjutnya terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa Ricard Eliezer, apakah sudah bisa dikatakan progresif atau tidak, dan bagaimana sebenarnya gambaran tuntutan progresif yang dapat diterapkan di Indonesia terkhusus bagi terdakwa. Merujuk pada redaksi kata “Progresif” yang pertama kali digunakan oleh Satjipto yakni Hukum Progresif dalam artikelnya yang dimuat harian Kompas 15 Juni 2002 dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”. Artinya, bahwa aparat penegak hukum diharapkan mampu menghasilkan produk hukum yang tidak selalu berpatokan pada norma yang ada dengan mempertimbangkan berbagai hal dan membaca peraturan tidak semata-mata menggunakan logika peraturan, melainkan membaca kenyataan apa yang terjadi di masyarakat.

Satjipto menganggap teks hukum atau undang-undang sebagai hukum yang sudah selesai, justru akan menjadikan hukum itu kaku, menimbulkan otonomi, dan manusia pun diharuskan mengikuti dan mengabdi pada skema teks. Hukum progresif menolak cara-cara demikian, disebabkan hukum-lah yang mesti menyesuaikan dengan manusia dan kemanusiaan dengan melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dari tujuan sosial yang ingin dicapai. Penegakan seperti inilah yang diharapkan Satjipto demi terwujud kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat.


Penulis



Tri Indriati

Divisi Relasi dan Kekeluargaan UKM LP2KI FH-UH 2023

(LP2KI XV)




Referensi:


Ilham Ohoirenan. (2022). Tinjauan Hukum Justice Collaborator Sebagai Upaya Pengungkapan Fakta Hukum Tindak Pidana Pembunuhan. Fakultas Syariah Dan Ekonomi Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.

M. Zulfa Aulia. (2018). Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo: Riwayat, Urgensi, dan Relevansi. Jurnal Hukum Vol. 1 No. 1.

Edi Kristianta Tariganc, Erni Darmayantib, Muhammad Khadafia, (2023). Kajian Kriminologi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Sebagai Saksi Justice Collaborator. Lex Justitia Journal Vol. 5 No. 1.

Nomero Armandheo Simamora2Edi Pranoto (2023). Tinjauan Yuridis Penetapan Status Seseorang Sebagai Justice Collaborator di Indonesia. Vol. 3 No. 1.

Peraturan Bersama Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborators)

Undang-undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

136 tampilan0 komentar
bottom of page