top of page

Ruang Sumir Pelanggaran Kode Etik Hakim Konstitusi: Perbedaan Antara Salinan & Putusan MK

Gambar penulis: officialukmlp2kifhofficialukmlp2kifh

Diperbarui: 28 Apr 2023




Sumber Foto: Merdeka.com dan Wikipedia


“Terbukti Ubah Putusan MK, Guntur Hamzah Dijatuhi Sanksi Teguran Tertulis” Begitulah kiranya Headline berita Kompas pada rubrik Politik & Hukum yang terbit pada 20 Maret 2023. Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dinilai terbukti melanggar prinsip integritas karena tindakan mengubah putusan yang berkaitan dengan pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi.

Diskursus ini akan berangkat pada perbincangan moral dan hukum yang secara khusus nantinya akan berkaitan dengan etika profesi. Secara bahasa, moral berasal dari bahasa latin yakni mosdalam dan bentuk jamaknya adalah mores yang artinya tata cara atau adat istiadat. Secara istilah, moral adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ihwal baik atau perbuatan baik manusia (Bruggink, 2015). Pada pandangan metafisika kesusilaan Immanuel Kant, terdapat perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas dipahami sebagai sesuai atau tidaknya suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka (Sukarno Aburaera, 2013). Kesesuaian atau ketidak sesuaikan tadi baru dapat dikatakan memiliki nilai moral, ketika ia ditemukan dalam moralitas.

Moralitas dalam pandangan Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma hukum dan batiniah yang dipandang sebagai kewajiban (Sukarno Aburaera, 2013). Sehingga titiknya adalah Moralitas seseorang dapat diukur ketika ia patuh terhadap hukum secara lahiriah (batiniah) bukan atas dasar daya paksa dari otoritas. JJ.H. Bruggink memandang Tidak memenuhi kaidah atau nilai, perbuatan seseorang atau pribadi dari orang tersebut harus dinilai sebagai jahat atau jelek (Bruggink, 2015).

Sekarang kita beranjak ke Kode Etik. Menurut Keith Rosenn sebagaimana dikutip oleh Susi Dwi Harijati dalam tulisannya yang berjudul “Membangun Independensi dan Akuntabilitas Hakim serta MA”, memiliki pandangan yang sama dengan Sir Ninian bahwa, “Independensi merupakan the degree to which judges actually decides cases in accordance with their own determination of the evidence, the law and justice, free from the coercion, blandishment, interfence, or threats from governmental authorities or private citizens (Achmad Dodi Haryadi, 2015). Kode etik hakim mengikat bagi Hakim dalam tata pergaulan di dalam dan di luar institusi agar sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta tetap terjaga.

B.A. Sidharta mendudukkan kode etik sebagai suatu kaidah yang disebut dengan Kaidah Moral Positif. Kaidah Moral Positif adalah kaidah-kaidah yang pada komunitas tertentu dalam kenyataan sungguh-sungguh dihayati dan dipatuhi sebagai aturan kesusilaan (Moral) (Sidharta, 2017). Kaidah Moral Positif ini ditentukan pendapat kelompoknya. Dalam hal ini, kode etik hakim konstitusi maka yang menentukan adalah Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Kode Etik Hakim Konstitusi termuat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tanggal 8 April 2009 bahwa Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam sepuluh aturan perilaku, sebagai berikut: (1) Berperilaku Adil; (2) Berperilaku Jujur; (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana; (4) Bersikap Mandiri; (5) Berintegritas Tinggi; (6) Bertanggung Jawab; (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri; (8) Berdisiplin Tinggi; (9) Berperilaku Rendah Hati; (10) Bersikap Profesional. Oleh karena itu, perilaku hakim harus berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur sebagai officium nobile (PN Gunung Sitoli, 2023).

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutus Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai Hakim terduga terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama yang dalam hal ini bagian dari penerapan prinsip integritas. Atas pelanggaran tersebut, M. Guntur Hamzah dikenakan sanksi teguran tertulis sebagai hakim terduga. Kesimpulan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna, Majelis Kehormatan MK menemukan fakta bahwa benar telah terjadi perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 (Vitorio Mantalean, 2023).

Perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan antara bunyi naskah putusan yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera dalam laman Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani oleh sembilan orang Hakim Konstitusi. Perubahan tersebut diakui dilakukan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai hakim terduga dengan alasan sebagai usul atau saran perubahan terhadap bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 (Lulu Anjarsari P, 2023). Perilaku M. Guntur Hamzah dapat dikenai sanksi berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi pada Pasal 4 Bab IV Tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 4 menjelaskan bahwa dalam hal hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran, diancam dengan sanksi pemberhentian. Pada proses pemeriksaan selaku hakim majelis kehormatan yang diduga melanggar akan dilakukan secara tertutup. Setelah dilakukan pemeriksaan, Hakim Konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran diberi kesempatan untuk membela diri. Sebelum putusan diambil setiap anggota majelis kehormatan wajib memberi pendapatnya. Selanjutnya, Putusan sejauh mungkin diambil melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Kemudian, apabila mufakat tidak tercapai, putusan diambil dengan suara terbanyak melalui pemungutan suara. Putusan tersebut berisi:

1) Pernyataan bahwa hakim yang diduga melakukan pelanggaran terbukti bersalah atau terbukti tidak bersalah, dan

2) Rekomendasi agar hakim yang diduga melakukan pelanggaran:

a) Dijatuhi hukuman berupa teguran, pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap dalam hal terbukti bersalah, atau

b) Direhabilitasi dalam hal terbukti tidak bersalah.

Sedangkan realitasnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menilai ada beberapa hal meringankan bagi Guntur sehingga hanya diberikan sanksi berupa teguran tertulis, yakni:

1. Guntur dianggap berani bersikap transparan kepada MKMK dan mengakui perbuatannya mencoret serta mengubah frasa dalam putusan itu.

2. MKMK menyoroti bahwa praktik sebagaimana terjadi dalam kasus Guntur sebetulnya merupakan hal lazim sepanjang beroleh persetujuan para hakim lain dan tidak dilakukan diam-diam.

3. Belum terdapat prosedur baku atas kelaziman di atas, dan MK dinilai lamban merespons tindakan Guntur yang sebetulnya sudah mereka ketahui beberapa hari setelahnya.

Selain itu, MKMK menyatakan tidak menemukan persekongkolan yang dilakukan oleh Guntur terkait pengubahan putusan itu. Namun, tak dapat diindahkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh M. Guntur Hamzah juga memiliki alasan pemberatan dari tindak prilakunya, MKMK menilai ada beberapa hal yang memberatkan sehingga Guntur dianggap layak disanksi, yakni:

1. Tindakan Guntur terjadi saat publik belum reda soal isu keabsahan pemberhentian Aswanto, dan memunculkan spekulasi upaya untuk menyelamatkan diri walau hal itu tidak didukung bukti kuat.

2. Guntur seharusnya bisa mencegah tindakannya itu karena ia belum jadi hakim saat perkara diputus oleh RPH pada 17 November 2022.

3. Guntur sebagai hakim anyar yang ikut bersidang seharusnya bertanya soal tahapan perubahan putusan (Aryo Putranto Sapto Utomo, 2023).

Perubahan frasa dalam Putusan MK tersebut dapat menyebabkan hilangnya koherensi pertimbangan hukum dalam menegaskan kembali esensi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Majelis Kehormatan MK mengungkapkan sejumlah hal yang memberatkan hakim terduga, di antaranya perbuatan hakim terduga dilakukan dalam suasana ketika publik belum reda dalam memperdebatkan mengenai isu keabsahan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan pengangkatan Hakim Terduga sebagai penggantinya. Alasan yang memberatkan berikutnya adalah meskipun secara hukum, hakim terduga berhak mengajukan usulan perubahan, pertimbangan etik seharusnya mencegah hakim terduga melakukan hal tersebut, sebab hakim terduga tidak ikut memutus Perkara Nomor 103/PUU-XX/2022, yang saat itu Hakim Terduga belum menjadi Hakim Konstitusi.

Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan perubahan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) diperbolehkan sepanjang untuk merapikan susunan kalimat dan redaksional, sepanjang tidak mengubah amar putusan. Hal itu lumrah dalam praktik sidang di berbagai pengadilan. Perubahan pengusulan dapat dilakukan jika ada pemohon yang mengajukan dengan alasan merugikan hak konstitusionalnya. Suhartoyo juga meminta agar Pemohon memperhatikan petitum yang mengajukan permintaan inkonstitusionalitas atas Pasal 23 ayat (1) UU MK.

Untuk permintaan ini Pemohon diharapkan dapat membuat argumen dan konstruksi yang jelas atas pernyataan dari norma ini (Andi Saputra, 2023). Selain itu, Suhartoyo menyarankan agar Pemohon yang menyebutkan perihal syarat MKMK dari hakim konstitusi, karena sejatinya itu adalah perintah undang-undang. Berikutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam nasihatnya menyebutkan beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam permohonan. Wahiduddin menyoroti legal standing Pemohon harus menyertakan dalil terhadap pengujian Pasal 27A ayat (2) UU MK yang dinilai merugikan hak konstitusionalnya. Selanjutnya Wahiduddin juga meminta agar Pemohon menyertakan bukti-bukti terkait dengan dalil dalam permohonan ini (Sri Pujianti, 2023).

Setelah kita mendudukkan bagaimana peran Kode Etik untuk mengatur perilaku hakim konstitusi, serta bagaimana Putusan MKMK atas tindakan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh M. Guntur Hamzah, ternyata terdapat kesumiran dimana dapat atau diperbolehkan dilakukan perubahan putusan sebagai upaya perbaikan ternyata menjadi ruang melakukan perubahan putusan sehingga mengubah sifat putusan itu sendiri. Kepatuhan atas kode etik seharusnya tidak atas patuh secara legalitas, melainkan kepatuhan harus lahir secara lahiriah karena di situlah letak daripada moralitas dan hakikat dari adanya Kode Etik itu sendiri.


Penulis



Irma Idris

Divisi Penelitian dan Penalaran UKM LP2KI FH-UH 2023

(LP2KI XV)




Referensi:


502 tampilan4 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

4 Comments


fauziahmardia
May 10, 2023

waah menarikk sekalii gagaasannya, lanjutkaan 😍

Like

irmaidris062
Apr 28, 2023

Naikkan gaji penulis 🔥

Like

Aliya Musyrifah
Aliya Musyrifah
Apr 27, 2023

KANAN DAN KIRI SUDAH JADI

IRMA MENJADI-JADI

Like

Aliya Musyrifah
Aliya Musyrifah
Apr 27, 2023

irmaji mmg🔥

Like
Alamat
Contact
SOCIAL MEDIA
  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black YouTube Icon

Jl Perintis Kemerdekaan KM 10

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Sekretariat : +62 813-5504-6571

LOGO LP2KI.png
Justify Project - Logo.png

© 2019 Edit by Justify Project

Property Lembaga Penalaran Karya Tulis Ilmiah 

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Proudly Create with Wix.com

bottom of page